Mirdad: Jejak Ulama dari Tanah Suci, Kisah Marga yang Menyebar di Nusantara
Jakarta - Marga Mirdad, sebuah nama yang mungkin tidak asing di telinga sebagian masyarakat Indonesia, menyimpan kisah panjang dan menarik yang berakar dari tanah suci Mekah.
Jejak marga ini tidak hanya tercatat dalam sejarah keilmuan di Masjidil Haram, tetapi juga menyebar hingga ke Nusantara, membawa serta warisan intelektual dan spiritual yang kaya.
Mirdad berasal dari kata Amirdad atau Amir Dadik. Amir maknanya kepala, ketua atau pimpinan. Sementara Dadik, bahasa Farsi, adalah nama sebuah jabatan resmi.
Jabatan ini diperuntukkan bagi mereka yang menjabat sebagai menteri atau pejabat tinggi yang mengurusi masalah kepolisian dan peradilan khususnya pada era pemerintahan kesultanan Muslim di India, biasanya jabatan ini dipegang oleh orang Arab, Persia, Afghanistan dan Muslim India yang menjadi pegawai Mughal dan kesultanan lainnya.
Kemungkinan nama jabatan ini berubah menjadi marga atau fam yang diwariskan turun temurun untuk menghargai jasa leluhur mereka dan keturunannya menyebar ke seluruh dunia termasuk Arab Saudi dan Nusantara.
Salah satu tokoh yang lumayan terkenal belakangan adalah Abdullah bin Ahmad bin Abdullah Abu al-Khair Mirdad al-Hanafi, seorang ulama kelahiran Mekah pada tahun 1285 Hijriah atau 1868 Masehi. Ia adalah bagian dari keluarga besar Mirdad, yang menurut catatan Sheikh Al-Ghazi dari Sheikh Ja'far Labani, sebagian besar anggotanya adalah imam dan khatib di Masjidil Haram.
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari keluarga ini adalah Abdullah bin Saleh Mirdad, putranya Ahmad Abu al-Khair Mirdad, dan Muhammad Ali Mirdad yang wafat pada tahun 1293 Hijriah. Leluhur mereka berasal dari kalangan imigran Afghanistan yang dikenal dengan sebutan "Amirdad." Seiring waktu, keluarga ini terbagi menjadi dua cabang, salah satunya dikenal dengan nama "Abu al-Khair," merujuk pada salah satu leluhur mereka.
Abdullah Abu al-Khair, penulis kitab "Nashr al-Nur wa al-Zahr," sebuah karya monumental tentang biografi ulama-ulama Mekah, adalah salah satu tokoh penting dari cabang ini. Kitab ini menjadi rujukan berharga dalam memahami sejarah keilmuan di Mekah.
Abdullah bin Ahmad Abu al-Khair Mirdad sendiri memperoleh pendidikan agama dari ayahnya, Ahmad, dan ulama-ulama terkemuka lainnya seperti Muhammad al-Kiranawi al-Hindi, pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Ia juga menghadiri majelis ilmu di Masjidil Haram dan mendalami berbagai disiplin ilmu, termasuk logika, filsafat, dan ushul fiqh.
Ia kemudian mengemban amanah sebagai imam dan khatib di Maqam Hanafi, mengajar di Masjidil Haram, dan memimpin para imam dan khatib di sana. Pada masa akhir pemerintahan Sharif Hussein bin Ali, ia diangkat sebagai hakim di Mekah.
Meskipun memiliki kesibukan sebagai hakim, Abdullah bin Ahmad Abu al-Khair Mirdad tetap setia pada kegiatan keilmuannya. Ia tidak pernah meninggalkan majelis ilmunya dan selalu menjaga shalat berjamaah. Selain mendalami ilmu agama, ia juga memiliki pengetahuan luas tentang sejarah dan biografi tokoh-tokoh penting.
Menurut catatan Ustadz Umar Abdul Jabbar, Abdullah bin Ahmad Abu al-Khair Mirdad juga mahir dalam membimbing jamaah haji. Ia menjelaskan tata cara manasik haji dengan fasih dan jelas, menunjukkan keluasan ilmunya dalam bidang ini.
Abdullah bin Ahmad Abu al-Khair Mirdad terus mengabdikan dirinya dalam membimbing dan mengajar jamaah haji di berbagai tempat, termasuk Arafah. Ia memiliki banyak murid, salah satunya adalah Sheikh Araby Sajini. Salah satu putranya yang terkenal adalah Sheikh Sadaqah bin Ahmad Abu al-Khair.
Abdullah bin Ahmad bin Abdullah Abu al-Khair Mirdad wafat di kota Thaif pada tahun 1343 Hijriah. Warisan keilmuan dan keteladanannya terus dikenang hingga kini.
Jejak marga Mirdad tidak hanya berhenti di tanah suci. Seiring waktu, sebagian anggota keluarga ini bermigrasi ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara. Di Indonesia, marga Mirdad dikenal luas, terutama di kalangan masyarakat keturunan Arab.
Beberapa tokoh Indonesia yang memiliki marga Mirdad antara lain adalah Jamal Mirdad, seorang penyanyi dan aktor terkenal, dan putrinya, Naysila Mirdad, seorang aktris ternama. Keberadaan mereka menunjukkan bahwa marga Mirdad telah menjadi bagian dari keragaman budaya Indonesia.
Kisah marga Mirdad adalah contoh nyata bagaimana warisan intelektual dan spiritual dapat melintasi batas geografis dan budaya. Jejak mereka di Indonesia menjadi pengingat akan hubungan erat antara Nusantara dan tanah suci Mekah, serta kontribusi keturunan Arab dalam memperkaya khazanah budaya bangsa.
No comments